Artikel ini saya tulis pada tanggal 17 Juni 2011 setelah berkunjung ke arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran pada tahun tersebut.
Pekan Raya Jakarta (PRJ) – dulu bernama Djakarta Fair (DF) – kembali diadakan di JIE Expo Kemayoran pada tanggal 9 Juni – 10 Juli sebagai ajang memperingati hari ulang tahun kota Jakarta.
PRJ yang dulu kala diadakan di lapangan Monas (Monumen Nasional) yang diprakarsai oleh Haji Mangan (Syamsuddin Mangan) bertujuan untuk mengumpulkan semua pasar malam yang tersebar di kota Jakarta. Namun kini telah berubah menjadi kumpulan pengusaha bermodal besar. Dan rasanya hampir mustahil pedagang-pedagang yang hingga kini masih menghuni pasar-pasar malam di kota Jakarta bisa ambil bagian di ajang tersebut. Tentu semua ini merefleksikan cerminan kota Jakarta. Tentunya yang dimaksud cerminan itu bukan hanya dilihat dari pergelaran yang di gelar di dalam JIE Expo an sich, tapi juga fenomena-fenomena yang hadir di sekitar tempat tersebut.
PRJ tempo doeloe di lapangan Monas
PRJ tempo kini di JIE Expo Kemayoran
Dimanakah Kekhasan Budaya Jakarta
Salah satu ciri khas kebudayaan Jakarta adalah ondel-ondel, namun saya tidak melihat satu pun ondel-ondel yang menghiasai acara tersebut. Satu-satunya ondel-ondel yang terlihat adalah di luar JIE Expo yang dibuat oleh masyarakat luar dalam rangka mengais receh dari orang-orang yang mau masuk ke dalam arena PRJ.
Bila dulu pedagang kerak telor makanan khas betawi banyak dijumpai di dalam arena PRJ (Monas), kali ini kita hanya bisa menemukannya di pinggir-pinggir jalan yang merupakan akses menuju arena PRJ.
Jakarta dan Kemacetan
Terlihat sekali, stand-stand yang paling ramai dikunjungi adalah stand-stand otomotif, sehingga seolah PRJ menjadi sarana pameran Otomotif, dan hanya stand-stand tersebutlah yang menggelar hiburan-hiburan besar berupa musik. Tentu hal ini sangat mencerminkan kondisi kota Jakarta yang penuh dengan kemacetan.
Premanisme
Well hal ini terlihat dari perparkiran tidak resmi yang tersebar di sekitar arena PRJ, nampak pemuda-pemuda ada yang berseragam (Pemuda Pancasila) maupun yang tidak berseragam menjegat para pengunjung yang menggunakan motor untuk memarkir kendaraannya di tempat yang mereka jaga dengan alasan parkir di dalam sudah penuh. Namun ternyata di dalam diketahui masih cukup untuk bisa dimasuki oleh banyak kendaraan.
Belum lagi mereka mengambil pungli dari angkot yang berhenti di sekitar arena PRJ karena mengambil penumpang dari pengunjung PRJ. Persis sekali dengan praktek percaloan penumpang bis dalam kota yang saya jumpai di terminal-terminal bis kota Jakarta.
Semoga Pekan Raya Jakarta bisa kembali pada visinya semula sebagai sarana berkumpulnya pedagang kota Jakarta khususnya para pedagang kecil. Dan semoga pula ajang ini benar-benar menunjukkan kekhasan budaya kota Jakarta khususnya dengan ke-betawiannya.
Jakarta mirip sekali dengan lirik lagu “Berkacalah Jakarta” Iwan Fals berikut ini:
Langkahmu cepat seperti terburu
Berlomba dengan waktu
Apa yang kau cari belumkah kau dapati
Diangkuh gedung gedung tinggi
Riuh pesta pora sahabat sejati
Yang hampir selalu saja ada
Isyaratkan enyahlah pribadi
Lari kota Jakarta lupa kaki yang luka
Mengejek langkah kura kura
Ingin sesuatu tak ingat bebanmu
Atau itu ulahmu kota
Ramaikan mimpi indah penghuni
Jangan kau paksakan untuk berlari
Angkuhmu tak peduli
Luka di kaki
Jangan kau paksakan untuk tetap terus berlari
Bila luka di kaki belum terobati
Berkacalah Jakarta
Lari kota Jakarta lupa kaki yang luka
Mengejek langkah kura kura
Ingin sesuatu tak ingat bebanmu
Atau itu ulahmu kota
Ramaikan mimpi indah penghuni
Jangan kau paksakan untuk berlari
Angkuhmu tak peduli
Luka di kaki
Jangan kau paksakan untuk tetap terus berlari
Bila luka di kaki belum terobati
Berkacalah Jakarta
http://musiklib.org/Iwan_Fals-Berkacalah_Jakarta-Lirik_Lagu.htm
“SELAMAT ULANG TAHUN KOTA KELAHIRANKU”